Penolakan omnibus law terus berlanjut. Aksi yang berlangsung pada Kamis (14/8) di Lapangan Niti Mandala, Renon, tidak hanya diwarnai dengan mimbar, mural, dan teatrikal. Ada hal lain di luar itu, tindakan represif menjurus kepada beberapa peserta aksi. Terlebih, mobil dinas pejabat daerah yang membelah kumpulan massa seolah abai dengan kehadiran aksi.
Blokade – Massa Aksi Bali Tolak Omnibus Law di depan Lapangan Puputan Niti Mandala Renon memblokade jalan sebagai bentuk kekecewaan atas perlakuan aparat yang tidak mendukung upaya massa aksi mengedukasi masyarakat.
Jumat, 14 Agustus 2020 cerahnya sinar mentari seolah menunjukkan bahwa semesta mendukung massa aksi menolak omnibus law yang tergabung dalam aliansi Bali Tidak Diam. Bukan tanpa alasan mereka kembali turun ke jalan. Sebab, pemerintah pusat yang diwakili oleh Wakil Badan Legislatif DPR telah bersepakat dengan perwakilan massa aksi pada 16 Juli 2020 lalu untuk tak membahas omnibus law saat masa reses, justru melanggar kesepakatan itu. Meskipun DPR kini telah menggandeng perwakilan serikat buruh untuk masuk dalam tim kerja yang akan mengkaji pasal demi pasal dalam RUU Cipta Kerja (Ciptaker) namun keraguan dari buruh di daerah lainnya kian menguat. Karena tak menutup kemungkinan perjuangan bersama akan disetir lantaran kepentingan dan hasutan lain.
Keraguan itu pun terbesit dalam benak Handi, pemuda yang tergabung dalam organisasi Pemuda Baru Indonesia (Pembaru). Meskipun ada buruh yang diikutsertakan, buruh tersebut tetap berada di bawah pengawasan pemerintah. “Kalaupun mereka mendatangkan buruh yang netral, yang memperjuangkan itu (penghapusan RUU Ciptaker–red), tidak akan menemukan titik terang,” terang Handi dengan masker hitam yang masih membalut separuh wajahnya. Handi pun juga meragukan kalau buruh yang didatangkan adalah buruh yang mantap menolak RUU Ciptaker. Dengan kata lain, mereka diundang karena memiliki tujuan yang sama dengan para investor.
Sejak awal, Pembaru telah aktif mengawal isu ini dan bergabung untuk turun ke jalan sebagai respon penolakan dan kekecewaan terhadap tidak pekanya pemerintah, baik itu daerah atau pusat. Beberapa kali aksi, pemerintah daerah Bali yang dalam hal ini DPRD Bali tidak memberi respon apapun. Perlahan mulai tidak percaya, itulah yang memantapkan Handi dan rekan pemuda lainnya yang bergabung dalam Pembaru untuk selalu menolak dan menolak RUU Ciptaker yang jauh dari prinsip kelima dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011, yakni pada poin kelima yaitu pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Sebelumnya, Handi dan massa aksi lainnya telah berkumpul sejak pukul 13.00 WITA. Kemudian, massa aksi yang dilengkapi dengan berbagai atribut aksi pun berkumpul dan mulai membentuk barikade. Tampak mobil pick up berwarna hitam, mengangkut pengeras suara besar untuk menggaungkan seruan massa aksi yang ingin menyampaikan kritik terhadap RUU pemihak investor ini. Mobil pick up yang pada bagian kapnya diselimuti spanduk bertuliskan Tolak Omnibus Law itu pun memimpin massa aksi hingga berhenti di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi. Panas yang menyengat menemani serangkaian orasi hingga salah satu massa aksi yang melakukan teatrikal dengan mengenakan kostum pocong berusaha menarik perhatian masyarakat bahwa aksi penolakan ini untuk keselamatan bersama.
Aksi maraton yang diselenggarakan sejak tanggal 14 Agustus hingga 16 Agustus yang akan datang memang telah terlaksana di berbagai pelosok negeri, termasuk di Denpasar, Bali. Menurut keterangan Humas Aksi Bali Tidak Diam, Abror Torik Tanjilla, aksi kali ini merupakan bentuk solidaritas terhadap aksi serentak yang turut terlaksana di daerah lain. “Kita harus turun ke jalan untuk menegaskan kepada pemerintah pusat bahwa sudah stop—pemberhentian—pembahasan tentang Omnibus Law ini,” ungkap Abror. Dirinya pun kembali menegaskan bahwa masyarakat Bali tidak pernah mendukung adanya RUU Ciptaker ini dan mengecam survei yang mengatakan 80 persen masyarakat di pulau dewata setuju terhadap RUU ini dan omnibus law.
Variatif dan Edukatif
Edukasi – Setelah gagal mengedukasi di depan Monumen Bajra Sandhi, salah satu massa aksi berpindah ke ruas jalan lainnya dan tampak sedang membagikan selebaran 12 alasan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Tidak hanya melontarkan seruan penolakan. Massa aksi pun menunjukkan kebolehan lain untuk menyuarakan aspirasinya. Abror menjelaskan pada aksi ini terdapat panggung budaya yang mengusung berbagai kegiatan, seperti orasi, pembacaan sajak dan puisi, hingga pembuatan mural secara langsung. Pembacaan sajak-sajak perjuangan menambah semangat perjuangan massa aksi. Mural yang dilukiskan melalui dua buah triplek kayu, menggambarkan keadilan yang telah digerogoti kepentingan investor. Puncaknya, massa aksi yang dirias bak pocong pun mencerminkan bahwa reformasi dan keadilan itu telah mati di negeri ini.
Ketika panggung budaya usai, massa pun membagikan selebaran yang berisikan 12 alasan menolak omnibus law. Sayangnya, aparat polisi yang berjaga justru mengalihkan arus jalan saat massa aksi telah berupaya mengedukasi betapa bahayanya RUU ini bila disahkan. Massa pun akhirnya memprotes dengan memblokade balik jalan. Bahkan saat arus lalu lintas kembali dibuka untuk pengendara motor, massa tetap mengukuhkan barisan blokade sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Aparat akhirnya membuka jalur untuk seluruh pengendara dan barisan blokade pun semakin dirapatkan.
Tindakan Represif dan Pejabat yang Tak Acuh
Represif – Blokade dari massa aksi untuk mengedukasi masyarakat memicu adanya tindakan represif dari polisi terhadap massa berupa ancaman verbal.
Blokade itu memicu adanya tindakan represif dari aparat kepolisian terhadap massa berupa ancaman verbal. Di sisi lain, oknum di luar massa aksi yang mengenakan biru dan menutup wajahnya dengan masker berwarna merah putih nampak mendorong-dorong massa aksi. Lima orang peserta aksi pun menjadi korban. Beberapa peserta aksi tersulut emosi. Meski menggertak dan sekaligus menghardik, massa aksi tidak membalas dengan cara represif, sebaliknya berteriak dan bernyanyi “hati-hati provokasi!”. Selepas huru hara keributan itu, akhirnya massa aksi beralih menuju Gedung DPRD Provinsi Bali. Saat menuju Gedung DPRD Bali, tampak mobil hitam dengan pelat merah bertuliskan DK 2 memecah perjalanan massa aksi. Massa yang peka bahwa mobil tersebut merupakan milik dari pejabat langsung menempelkan selebaran 12 alasan menolak omnibus law dan mulai menghardik mobil yang seisinya tampak cuek saja melewati massa aksi.
Polisi menjaga ketat gerbang Gedung DPRD Bali setelah spanduk aksi dipasang.
Senja pun tiba, tepat pada pukul 17.45 wita massa memasang baliho di depan Gerbang Gedung DPRD Bali sebagai bentuk protes. Tidak ada lagi konsolidasi atau pertemuan seperti aksi sebelumnya. Lebih lanjut dalam penjelasan Abror, tujuan dari aksi kali ini berfokus untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa Omnibus Law, khususnya RUU Ciptaker, tidak seharusnya disahkan karena membawa banyak problematika dari beberapa pasal-pasalnya. Maka dari itu, kegiatan lebih difokuskan pada penyebaran brosur serta perhelatan panggung budaya untuk menarik perhatian masyarakat.
Tak lupa massa aksi bertandang ke depan Kantor Gubernur Bali dan dengan cekatan satpam yang berjaga langsung menutup gerbang tanda terusik. Riuh rendah suara kecewa massa pun menghantarkan massa aksi untuk kembali menuju titik kumpul, Lapangan Timur Renon. Abror kembali menuturkan aksi ini tidak hanya berfokus pada penolakan Omnibus Law. Terdapat empat tuntutan yang diusung pada aksi kali ini, antara lain (1) Meminta pemerintah dan DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, (2) Meminta pemerintah dan DPR RI agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, (3) Meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi, intimidasi, diskriminasi terhadap masyarakat dan mahasiswa khususnya pada rakyat Papua, dan (4) Meminta pemerintah menghentikan privatisasi, liberalisasi, dan komersialisasi pendidikan.
Reporter: Teja S, Villia, Agus
Penulis: Ratih, Yuko
Penyunting: Galuh