I Dewa Gede Alit Saputra: Dari Panggilan Hati, Lestarikan Kesenian Bali

“Nah itulah sampai sekarang astungkara sanggar ini sudah menjadi barometer, sudah menjadi patokan sanggar-sanggar lain yang baru berdiri, gitu,”  tutur Dewa Gede Alit,  seorang seniman berdarah Klungkung yang menjadi pelopor berdirinya Sanggar Kayonan, sebuah sanggar yang menjadi pionir berdirinya sanggar kesenian lain di wilayah Klungkung.

Darah seni yang mengalir dalam tubuhnya, membuat pria yang karib disapa Pak Dewa ini termotivasi untuk membentuk sebuah wadah kesenian di klungkung. Masih lekat dalam ingatannya, kala itu akan berlangsung sebuah acara kesenian yang  membutuhkan sekaa ataupun seniman untuk mengisi acara tersebut.  Sebagai seorang alumnus Seni Modern Universitas Warmadewa, Denpasar, hati Pak Dewa terpanggil untuk menyukseskan acara tersebut sebagai bentuk tanggung jawab moril terhadap ilmu yang dimilikinya.  “Jadi ada tanggung jawab moril sebagai warga desa yang sempat merantau beberapa tahun menyelesaikan kuliah merasa terpanggil, terketuk tapi apa yang bisa saya persembahkan sebagai wujud yadnya ngayah di di desa?  Tiga hari nyejer Ida Bhatara saya coba buat teater judulnya tragedi suku lembah waktu itu, yang pernah kita lombakan  PEKSIMINAS kemana-mana itu. Memang waktu itu hasilnya juara terus,  tapi dalam arti sudah bertentangan sih sebetulnya. Dunia kita beda artinya situasinya beda karena situasi upacara kita pentaskan teater apa nyambung kan gitu kalau bawa teater bawa ke solo ke IKJ di Jakarta itu memang dunianya itu. Tapi ketika di kampung bawa itu situasi upacara apa nyambung apa bisa diterima masyarakat?  Kita tahu diri tentang itu karena sudah beda karakter karyanya. Tapi untuk mengisi hari-hari itu Pak Dewa paksakan garap satu, yang lainnya itu yang dua hari sisanya itu Pak Dewa minta tolong kepada kakak yang kebetulan nikah di Batuan Gianyar.”

Peristiwa itu, memantik api semangat pria kelahiran 68 tersebut merasa “jengah” untuk membuka sebuah sanggar kesenian di Klungkung, mengingat betapa pentingnya sebuah komunitas seni diberi wadah berkembang. Sanggar yang ada, bukan hanya sekedar untuk menyukseskan pementasan adat atau upacara keagamaan namun sanggar ini diperlukan untuk mengembangkan potensi serta minat generasi muda dalam berkesenian.

Wawancara – Bapak Dewa menceritakan perjalanan dan perjuangannya sebagai seorang penggiat seni budaya yang digelutinya sejak muda

Tepat di tahun 1992, sanggar Kayonan lahir sebagai sanggar rintisan di Klungkung. Meski begitu,  bukan perkara yang mudah untuk merintis suatu sanggar dari nol, terlebih dengan fasilitas yang masih belum memadai dan pendaftar yang membludak, “peserta didiknya lebih dari 800 orang, itu kejadiannya waktu itu tidak ada dalam sejarah punya anggota sebanyak itu dimanapun sanggar itu. Bukan bermaksud melebihkan kenyataan sampai kita mohon pinjam tempat di wantilan desa adat karena sudah nggak nampung itu nggak muat, full satu minggu itu untuk membagi jadwalnya.”  Tak sendiri, Pak Dewa mengajak rekanan  dari alumni ISI Denpasar , saat itu terhimpun dalam Akademi Seni Tari. “Pak Dewa merekrut teman-teman alumni ISI Denpasar. ASTI, Akademi Seni Tari yang kerja di Klungkung baik yang dari Denpasar, nikah di Klungkung, Pak Dewa kumpulkan semua menyambut gembira.” tutur beliau dengan senyum ketika mengingat kembali awal mula merintis Sanggar Kayonan (11/7).

Tak akan selalu mudah, itu pula yang dirasakan oleh Pak Dewa ketika merintis usahanya. Kala itu, untuk mengumpulkan perlengkapan gong guna kepentingan pementasan sanggar, Pak Dewa mesti menyisihkan sebagian gaji dari pekerjaannya untuk membeli gamelan, “akhirnya dari gaji Pak Dewa itu, Pak Dewa sisihkan sebagian untuk keluarga sebagian taruh di tukang gamelan, begitulah seterusnya astungkara Pak Dewa juga tabah mengembangkan persewaan busana tari, busana pengantin, itu yang banyak mendongkrak.” Berbagai kerikil yang ditemui dalam mengembangkan sanggar tak serta merta membuat Pak Dewa patah arang,”Wah suka dukanya sih banyak, tapi kebanyakan sukanya-lah daripada duka karena terbukti kalau duka terus pasti ini sanggar ini macet,” tuturnya sembari tersenyum.

Seiring berjalannya waktu, Sanggar Kayonan berkembang menjadi salah satu sanggar besar di klungkung. Sanggar ini kerap mewakili kabupaten Klungkung baik dalam acara besar seperti pesta kesenian Bali (PKB) yang rutin diadakan setiap tahunnya maupun lomba tari, baleganjur dan kesenian lain tingkat kabupaten bahkan nasional. Sampai kini, sanggar Kayonan telah mencetak ribuan seniman yang telah berdedikasi demi keberlangsungan kesenian di Bali. Sanggar ini telah menjadi pioner penggerak sejumlah sanggar lain di Klungkung untuk berdiri. “Nah itulah sampai sekarang astungkara sanggar ini sudah menjadi barometer, sudah menjadi patokan sanggar-sanggar lain yang baru berdiri, gitu.” Tutur Pak Dewa.  Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Klungkung ini mengaku bahwa banyak anak didik yang nyaman dan telah menganggap sanggar Kayonan sebagai rumah. Sanggar yang awalnya bergerak di bidang sastra ini memiliki berbagai kegiatan seperti latihan di bidang seni tari, tabuh, serta berbagai kegiatan seni lainnya

Gamelan- Potret Alat Musik Gamelan Gong di Sanggar Kayonan

Darah seni yang mengalir kental dalam tubuh Pak Dewa mendorongnya untuk banyak berkontribusi bagi perkembangan kesenian di daerah Klungkung. Pria yang juga pernah didaulat sebagai Pemuda Pelopor Pelestari Budaya selama dua kali berturut-turut ini, kerap kali memberikan ide cemerlangnya mengenai kesenian. Beliau juga menjadi salah satu anggota Tim Ahli Cagar budaya daerah Klungkung yang meneliti beberapa kebudayan dan tradisi di Klungkung seperti dewa mesraman dan berbagai kesenian lainnya.

Bermula dari ingin melestarikan dan memajukan budaya serta kesenian, Sanggar Kayonan mulai dilirik oleh masyarakat saat sanggar ini  menampilkan Fragmen Tari Kolosal untuk pertama kalinya di Klungkung dengan 400 orang sebagai penarinya, “kita menggarap fragmen kolosal pertama kali yang ada di Klungkung dengan melibatkan 400 penari. Fragmen tari kolosal judulnya Puputan Klungkung dengan iringan 14 orang penabuh, dengan akal-akalan design tabuh yang tidak memerlukan orang banyak gitu tapi tetap indah dan masuk. Kita bermain ilustrasi, berhasil itu, heboh. Dan itu pun tonggak pertama  sanggar kayonan merubah wajah catus pata monumen di Klungkung yang sejatinya adalah pertamanan, orang nongkrong-nongkrong, Pak Dewa paksa pinjam ke Pak Bupati waktu itu.”

Kemudian, pemerintah setempat. mulai memperhatikan keberadaan Sanggar Kayonan “Begitulah seterusnya, akhirnya menjadi langganan setiap Pesta Kesenian Bali atau ajang apapun yang menjadi ini, inspirasi ide atau apa dari pemerintah selalu ke sini. Jangankan untuk garapan, untuk menciptakan apa namanya, tema sebuah kegiatan misalnya festival Semarapura, Pak Dewa dimintai masukan, apa dampaknya sekarang, selalu menjadi inspirasi dari banyak orang, termasuk Pemerintah Kabupaten Klungkung dan provinsi.” Ungkapnya ketika diwawancarai oleh Tim Konvergensi siang itu.

Sebagai salah satu seniman yang sangat diperhitungkan di Klungkung, Pak Dewa senantiasa mengutamakan prinsip keikhlasan “Ngayah” dalam setiap lakon keseniannya, “.Pokoknya berkarya kita berbasis kinerja, nanti pendapatan akan mengikuti kan gitu. Karena karakteristik sanggar disini semangatnya ngayah seperti Pak Dewa bilang di awal, ngayah dulu. Berdirinya seni ini nggak boleh dipakai untuk lahan ngalih gae gitu, tulus dulu ngayah. Nah astungkara, disela-sela ngayah ketika ngayah itu hanya betul-betul ngayah, tidak ada apanya, paling dapat ucapan terima kasih pasti dibalik itu ada hikmah, ada keindahan yang kita dapat. Tiba-tiba ada job disini, disitulah baru kita dapat. ” Ungkapnya ketika diwawancarai. Selain itu, Pria kelahiran bulan Juni ini, mengungkapkan bahwa manajemen sanggarnya dilandaskan pada nilai kebersamaan, sehingga para peserta didik merasa tidak terbebani dan malah betah untuk bertumbuh serta berproses bersama sanggar Kayonan. “Cuma, kita punya karakter sendiri, Pak Dewa memanage itu dengan penuh kekeluargaan, semua Pak Dewa anggap anak sendiri. Perlakuan, keluarga, semua daya dukungnya tinggi sekali masuk ke sanggar, dia susah keluar (enggan keluar sanggar -red) karena dia merasakan seperti masuk ke rumahnya sendiri.”

 

Kenangan- potret historis perjalanan Sanggar Kayonan dalam berkegiatan

Seniman yang telah lama merasakan manis getirnya dunia seni ini, begitu mengharapkan regenerasi dari pada generasi muda untuk meneruskan semangat juangnya dalam membela dan mempertahankan eksistensi seni di Klungkung maupun di Bali. “Jangan hanya seniman, semuanya mengambil itu (peran melestarikan budaya -red), harus ada orang lain yang membantu atau perbanyak-lah tangan-tangan baik untuk mengangkat ini. Kalau Pak Dewa sebagai seniman untuk melakukan sudah payah sekali, apalagi memikirkan meneliti, kan gitu. Harus ada orang lain yang berkontribusi ini meneliti, kita yang mengeksekusikan gabungan itu, maksudnya harus kerjasama yang baik jadi anak muda,” tutupnya dalam akhir wawancara di kediaman sekaligus rumah para seniman muda yang bernama Kayonan.

 

 

 

Penulis : Manogar, Dyana 

Penyunting : Wid 

You May Also Like