Penggunaan tedung yang lekat dalam proses keagamaan di Bali, menjadikan tedung sebagai bagian dari kehidupan beragama masyarakat. Bukan hanya itu, tedung juga menjadi salah satu motor penggerak perekonomian bagi para pengrajinnya, salah satunya bagi masyarakat Desa Paksebali yang terkenal dengan Sentra Kerajinan Tedung
Tedung menjadi salah satu kerajinan khas dari Desa Paksebali yang terletak di Kabupaten Klungkung. Memasuki wilayah Paksebali, akan mudah ditemui jajaran kerangka tedung yang sedang dijemur sebelum diproses lebih lanjut dan dipasarkan. Dilihat dari aspek fungsionalnya, tedung telah lama digunakan oleh masyarakat Bali, baik sebagai sarana upacara maupun hiasan pemanis bagi beberapa resort lokal. Kerajinan ini memiliki detail yang unik dan rumit, tetapi indah dan megah di saat yang bersamaan.
Hadirnya kerajinan ini di tanah Klungkung tidak terlepas dari kisah unik yang tersembunyi di baliknya. Ikatan persaudaraan Desa Paksebali dengan Puri Klungkung merupakan tonggak awal lahirnya pembuatan tedung khas Desa Paksebali. Pada saat itu, Puri Klungkung yang membutuhkan tedung langsung meminta warga Desa Paksebali untuk membuatkan tedung. Warga Desa Paksebali yang memiliki keterampilan dalam pembuatan tedung, langsung menerima pintaan dari Puri Klungkung. Pembuatan tedung ini dilakukan oleh dua Puri di Paksebali, Puri Satria Kawan dan Puri Satria Kanginan. Sampai saat ini, kerajinan tedung banyak dijumpai di dua Puri bersaudara tersebut. Sebagai kerajinan yang diwariskan turun temurun, para orang tua di daerah Paksebali meneruskan pembuatan tedung ini ke anak- anak mereka. Bahkan sejak anak berusia sekitar 10-12 tahun sudah ikut serta membantu orang tua mereka untuk membuat kerajinan tedung. Tak jarang juga berlanjut dengan mewarisi profesi orangtuanya sebagai pengrajin tedung. Maka tak heran, Paksebali disebut sebagai sentra kerajinan tedung, sebab eksistensinya masih terjaga sampai saat ini.
Proses pembuatan tedung ini bukan pula hal yang mudah untuk dilakukan.Pembuatan tedung mesti melewati beberapa proses penting, mulai dari proses pemilihan bahan hingga finishing produk. Setiap tedung memiliki waktu pengerjaan yang berbeda, tergantung dengan tingkat kerumitan tedung tersebut. “Nah tergantung sekarang tipe kerumitan jenis payung yang akan dihasilkan. Kalau yang klasik sederhana, klasik yang sederhana itu hampir satu hari 50 biji dapat. Kalau yang klasik berciri khas, modelnya seperti klasik ada ornamen beludru yang tipis, itu hampir satu hari 4 biji 5 biji dah maksimal. Terus kalau yang inovatif yang modern itu hampir 1 hari 1 biji maksimal 2 biji dah, udah ngebut,” jelas Anak Agung Gede Oka selaku salah satu pengrajin sekaligus pemilik usaha Purnata Tedung di kawasan Paksebali pada (10/7).
Adapun bahan yang digunakan dalam pembuatan tedung terdiri dari kain beludru dan beberapa jenis kain lainnya. Penggunan jenis kain yang berbeda akan disesuaikan dengan kualitas atau kisaran harga dari tedung, permintaan pasar, serta pesanan pelanggan. Selain itu ada beberapa jenis kayu yang biasanya digunakan sebagai badan tedung seperti kayu sandar, kayu durian, kayu jabon, dan kayu kamper. Tak lupa, aksesoris yang digunakan untuk mempercantik tedung.
Jika ditelisik lebih lanjut, kerajinan tedung memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tergantung dari daerah penghasil kerajinan tersebut karena tiap daerah memiliki pakemnya tersendiri. Umumnya, tedung akan mengambil motif yang memiliki nilai yang sarat akan filosofis seperti wayang-wayangan, emas-emasan, dan ornamen lain. Pada tedung klasik atau tedung yang biasanya digunakan dalam upacara keagamaan, motif yang digunakan cenderung polos, atau motif sederhana seperti ukiran-ukiran yang hanya ada di tepian tedung. Sedangkan pada tedung modern, motif yang digunakan tergantung pesanan dari pembeli. Umumnya tedung modern ini memang diperuntukkan untuk kepentingan hiasan seperti di restoran ataupun hotel.
Motor Penggerak Perekonomian Paksebali
Peran kerajinan tedung dalam perekonomian di Desa Paksebali sangat besar. Sebagian warga di Desa Paksebali khususnya Puri Ksatria Kawan bermata pencaharian sebagai pengusaha tedung. Hampir setengahnya warga di Puri Ksatria Kawan berkecimpung di bidang kerajinan ini. Terlihat dari banyaknya pengrajin tedung di sepanjang jalan Desa Paksebali. Masing-masing pekerja akan mengambil peran khusus dalam pembuatan tedung , “paralel, ada yang bikin rangka, ada yang bikin atasnya, ada yang bikin tongkatnya, ada yang pasang kain, pasang benang. Jadi ada kerjasama,”ungkap Anak Agung Gede Oka. Dengan adanya hal tersebut, menjadi peluang untuk terserapnya banyak tenaga kerja dalam pembuatan tedung, “kalau ngasih aksesorisnya ni kurang lebih 30 orang. Kalau yang masang begini biasanya cewek-cewek ibu rumah tangga, kalau yang ngasih hiasan tongkat itu ada 2 orang, kalau beludru di gudang itu di pohon bambu kurang lebih ada 7 orang apa gitu, di rumah juga, ya kurang lebih 30-an lah,” imbuh beliau.
Dalam kesehariannya , Purnata Tedung bisa menjual sebanyak lima puluh buah tedung, dengan dibandrol harga 20.000 rupiah hingga yang paling mahal bisa mencapai 1.500.000 per buahnya tergantung motif dan tingkat kesulitan pembuatannya.
Kendati sempat menurun dikarenakan pandemi yang membatasi kegiatan keagamaan kemarin, namun kini kondisi penjualan tedung berangsur membaik. “Dari seratus persen biasanya kerajinan yang dikeluarkan, hasil produk yang dikeluarkan saat pandemi itu hampir lima puluh persen terkena imbas,” tutur Anak Agung Gede Oka. Kini, dengan berjalannya waktu, pembelian tedung makin digandrungi dari luar Bali seperti, Lombok, Sulawesi, dan Lampung. Distribusi tedung ke luar Bali biasanya dilakukan setiap beberapa bulan sekali. “Kalau Lombok, Sulawesi, Lampung itu ‘kan saya sebagai penyuplai kalau di sana, makanya minimal 6 bulan sekali pasti ada orderan,” ucap Pak Agung Gede Oka.
Tak hanya terbatas di wilayah lokal, pemasaran tedung juga sampai dilakukan ke luar negeri. Walau tak mendapat pemasukan seperti distribui lokal, tetapi setiap musimnya pesanan dari wisatawan pasti tidak pernah absen. Adapun tedung yang dibawa keluar negeri dibuat berbeda dengan tedung yang biasa dijual untuk upacara adat keagamaan. Para wisatawan atau masyarakat luar negeri biasanya menggunakan tedung ini sebagai aksesoris untuk berteduh dan hiasan.
Melestarikan kerajinan tedung menjadi hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Konsisten melestarikannya, memerlukan peran dari seluruh elemen masyarakat, baik pelaku usaha, generasi muda, konsumen, maupun pemerintah. Di penghujung obrolan, Anak Agung Gede Oka menyampaikan harapannya . “Harapannya kalau menurut saya sih supaya pemerintah juga memperhatikan, bagaimana cara pengembangan selain dari diri kita juga ada bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan supaya lebih besar dan bisa mencakup keluar daripada di Indonesia (kerajinan tedung dan pradanya -red), supaya dipromosikan. Selama ini kan kurang promosinya, khususnya kami pengrajin di wilayah kabupaten klungkung masih kurang rasanya pemasaran kita untuk ke luar daripada Bali,” ungkapnya pada wawancara siang hari itu.
Penulis : Santika, Adista
Penyunting : Meutia