Rendahnya sumber daya manusia dan kerasnya kehidupan di jaman modern membuat tidak sedikit masyarakat ekonomi lemah memilih hidup dari suapan sudut-sudut jalan.
Pulau Dewata, Pulau Seribu Pulau. Nama pulau Bali tentu tidak asing di telingan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Dari namanya saja, terbayang betapa indah, damai, aman, makmur dan sejahteranya masyarakat Bali. Namun kenyataannya, tak semua kehidupan di Pulau Bali seindah Pulaunya. Di sudut-sudut kota Denpasar misalnya, masih banyak dapat kita temui para kaum duafa atau yang lebih akrab disapa masyarakat Bali dengan sebutan Gegendong, menengadahkan telapak tangan di rambu-rambu lalu lintas. Entah untuk sekedar mencari makan, atau menjadikan itu sebagai profesi mereka.
Pemandangan yang tidak mengenakkan ini, seakan-akan cerminan dari situasi negara berkembang, yang mana pendapatan dan perekonomian rakyatnya tidak merata. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Padahal di Bali sendiri banyak lapangan pekerjaan yang bisa di garap. Selain Bali unggul di bidang Pariwisata, Bali juga masih unggul di bidang pertanian dan budaya, sehingga seharusnya, masyarakat Bali mampu hidup sejahtera.
Yang menjadi masalahnya adalah latar belakang pendidikan yang rendah, yang mengakibatkan rendahnya sumber daya manusia. Oleh karena itu masyarakat cenderung berpikir primitive, alhasil masyarakat tradisional tidak mampu bersaing dengan masyarakat kota, di jaman globalisasi ini. Tak heran jika orang luar Bali datang berbondong-bondong untuk menggarap lahan kita. Seperti yang kita ketahui, bahwa kini Bali sudah menjadi kota urban.
Bertambahnya jumlah penduduk yang membuat semakin sempitnya lapangan pekerjaan, membuat angka pengangguran dan kemiskinan kian meningkat. Sehingga mereka yang berlatar pendidikan rendah, bingung harus bekerja apa. Terlebih di era globalisasi ini, dibutuhkan tenaga-tenaga professional, terlatih, dan terampil. Yang kemudian menyebabkan muncul lagi masalah baru, yakni kemalasan dan pasrah. Sehingga rakyat menjadi manja, dan selalu ingin di suapi tanpa mau bekerja keras. Maka dari itu, timbullah masalah gegendong di bali.
Dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Maka dari itu, Pemerintah hendaknya melakukan upaya-upaya peningkatan mutu sumber daya manusia. Seperti misalnya memberikan pembekalan keterampilan baik bagi ibu-ibu dari keluarga kurang mampu seperti misalnya menjahit, membatik, dan lain-lain. Fasilitas pendidikan yang memadai dan merata bagi masyarakat desa dan masyarakat kurang mampu, agar tak ada lagi calon penerus bangsa yang mengemis di jalanan, dan mereka mampu bersaing pada era ini. Memberikan modal bagi industri kecil rumah tangga, untuk membangun masyarakat sejahtera. Membangun lebih banyak lapangan pekerjaan, sehingga tidak ada lagi kepala keluarga yang pengangguran. Selain itu, mempertegas larangan untuk tidak memberi sedekah pada gegendong juga harus ditingkatkan. Agar mereka ada niatan untuk mencari pekerjaan lain dan berusaha lebih keras menuju hidup yang sejahtera.
Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi pemandangan miris di sudut-sudut kota. Disamping itu, dengan berkurangnya kaum Gegendong di Bali, bertambah pula kenyamanan para tamu asing maupun lokal. Karena tidak sedikit dari mereka yang terusik dengan kehadiran Gegendong. Jika semakin banyak tamu yang berdatangan, pendapatan daerah pun semakin bertambah, sebagai penunjang solusi yang ditawarkan agar dapat terlaksana. Sehingga ada harapan bagi mereka, bahwa esok hari ada kehidupan yang lebih baik lagi. (ir)