Dibalik Bilik Problematika SPI : Sudahkah Semua Terbuka?

Pemberlakuan Kebijakan SPI telah lama memicu polemik terkait transparansi anggaran dan peruntukannya. Kini, penetapan tersangka terhadap beberapa pejabat di lingkungan Universitas Udayana atas dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Mahasiswa jalur mandiri  menambah cerita kusutnya penyelenggaraan sistem SPI.  Hingga kini, kasus masih terus bergulir dan mencari titik terang kebenarannya. 

 

Pada tanggal 12 Februari 2023, pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana, ketiga orang tersebut merupakan pejabat struktural di lingkungan Universitas Udayana yang ditetapkan sebagai tersangka atas perannya sebagai panitia penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.  Teranyar, rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng.IPU. juga ditetapkan sebagai tersangka dalam statusnya sebagai ketua panitia pelaksana penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di tahun 2018-2022.

 

Titik Awal Kebijakan SPI 

Universitas Udayana memberlakukan kebijakan SPI sejak 2018, melalui Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 617/UN14/KU/2018 yang disahkan pada tanggal 14 Mei 2018 oleh A.A Raka Sudewi selaku rektor pada masa tersebut. Raka Sudewi dalam konferensi pers (2/7/18) menjelaskan bahwa pemberlakuan SPI di Universitas Udayana  pada jalur mandiri sudah memiliki landasan hukum yang mengacu pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Sejak saat itu,  Universitas Udayana resmi mengadopsi kebijakan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 39 Tahun 2017 pasal 8, sebagaimana perubahannya kini yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2020 pasal 10 ayat (1).  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2020  pasal 10 ayat (1) tersebut mengatur mengenai kebolehan dari Universitas untuk memungut dana dari mahasiswanya di luar daripada uang kuliah tunggal ( UKT ) yang dapat dipungut melalui mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa yang melalui jalur kerjasama, serta mahasiswa yang melalui seleksi mandiri. Universitas Udayana sendiri menerapkan kebijakan SPI bagi mahasiswa baru salah satunya melalui seleksi jalur mandiri.

Dalam penerapannya, nominal SPI yang ditetapkan di masing-masing prodi tiap fakultas berbeda, ini pun pernah dijelaskan oleh WR II Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, SE.,MS di masa kepemimpinan A. A Raka Sudewi,  yang menjelaskan perbedaan nominal SPI pada setiap program studi (prodi) dikarenakan setiap nominal merupakan usulan dari masing-masing prodi. “70 persen dari dana SPI akan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana Unud. Ia menyebut bahwa SPI lah modal awal Unud untuk melakukan pelayanan kepada mahasiswa dan masyarakat melalui perbaikan fasilitas-fasilitas yang telah ada, ” ungkap beliau ( 2/7/18)

 

Berbagai Dinamika yang Turut Muncul

Pada awal mula penetapannya, Raka Sudewi selaku rektor Universitas Udayana di tahun 2018 menyampaikan pada keterangan pers di ruang Bangsa, Lt.3 , Gedung Rektorat (2/7/18), tepat setelah aksi damai yang dilakukan mahasiswa terkait SPI, bahwa penetapan SPI sudah berjalan sesuai aturan perundang-undangan dan berdasarkan kajian akademik yang dilakukan oleh tim kajian akademik serta didasarkan atas studi banding di beberapa universitas di Indonesia. Namun, hal itu belum menjawab keseluruhan keresahan mahasiswa, sehingga beberapa kali SPI sempat memicu adanya aksi di awal mula penetapannya.

Awal tahun 2023, puncak prahara dari semrawutnya penerapan SPI mencuat ke permukaan dengan ditetapkannya 3 tersangka dalam kasus dugaan korupsi oleh Kejaksaan Tinggi ( Kejati ) Bali. Penyelidikan yang dilakukan oleh Kejati bermula dari adanya laporan masyarakat pada awal tahun 2022 terkait pembayaran SPI “Jadi sama halnya dengan kasus-kasus sebagian besar yang sering ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Bali yaitu berawal adanya dari laporan masyarakat yang kita tentunya karena Undang-Undang harus melindungi identitas pelapor tersebut. Pada intinya melaporkan tentang kegiatan penerimaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi SPI mahasiswa Universitas Udayana,” terang A. Luga Harlianto yang ketika itu bertugas selaku Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Bali ( 22/02)

Atas adanya pelaporan tersebut Kejati Bali kemudian melakukan penelaahan terhadap kewenangan kejaksaan dalam menindaklanjuti laporan tersebut, hingga kemudian diterbitkannya surat perintah penyelidikan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Bali. Dalam penyelidikan tersebut ditemukan dugaan adanya sebuah tindak pidana, oleh karenanya status penyelidikan ditingkatkan menjadi penyidikan guna mempermudah proses pengungkapan kasus yang terjadi.

Kronologis – A. Luga Harlianto, menceritakan kronologis penatapan 3 tersangka

Dari proses penyidikan tersebut ditemukan tindak pidana berupa pemungutan SPI tanpa dasar “Jadi dari semua dokumen, dan lain sebagainya, akhirnya kita tetapkan 1 modus operandi yang berhasil ditemukan teman-teman penyidik, terang kemudian ketemu tersangkanya, yaitu modus terkait diterimanya penerimaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi, SPI mahasiswa Unud jalur mandiri 2018-2023 dari mahasiswa yang seharusnya, seyogyanya tidak dapat dibebankan untuk menyerahkan dana SPI. Jadi secara bahasa sederhananya, tidak ada dasar hukumnya memungut dari mereka. Kita bicara mereka ya, yang menjadi objek adalah mereka, objeknya bukan SPI nya ya. Kalau kita bicara SPI nya, maka kita akan bicara SPI boleh kok, ayo kita geser, mereka (pemaknaan objeknya -red). Artinya, kan sudah tahu bahwa SPI ini jalur mandiri ini ada aturannya dari yang lebih tinggi. Tapi apa yang menjadi problemnya adalah ketika menerima dari mahasiswa yang seharusnya tidak bisa menyerahkan atau diminta dana SPI,” jelas A. Luga Harlianto.

Berdasarkan SK Pemungutan SPI yang dikeluarkan Rektorat sejak 2018 sampai 2023  terdapat beberapa prodi yang tidak diatur mengenai pungutan SPI. Prodi-prodi tersebut merupakan prodi dengan jumlah peminatan yang sepi. Diantaranya ialah prodi sejarah, antropologi, arkeologi, sastra Indonesia, Sastra Jawa Kuno, Sastra Bali yang berada di bawah naungan Fakultas Ilmu Budaya. “Sama halnya seperti mengikatnya SK itu untuk membayar SPI, jika berbicara mengenai kekuatannya ya. Jadi pahami aturan, apa sih yang membuat dasarnya orang itu kemudian bisa dipungut, yaitu SK. Dengan dasar itulah jika ini tidak ada SK, berarti seharusnya kan tidak bisa. Jadi yang mengatur mahasiswa ini, fakultas ini, kemudian diberlakukan SPI jalur mandiri, SK. Legalnya kuat,” terang A. Luga Harlianto.

Ketidaksesuaian antara sistem dengan SK Rektor oleh Universitas Udayana berdasar keterangan Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali ketika itu (22/02), bukanlah merupakan sebuah kelalaian “Jadi kalau kita bicara kesengajaan, karena kita kan melihat 3 kemungkinan kesengajaan disini, kesengajaan sebagai maksud, untuk sebuah kepastian, dan kemungkinan. Ini semua dipahami oleh teman-teman penyidik dimana sih titik-titik ini, yang jelas ketiga orang ini tidak semata-mata dalam bentuk lalai, tidak. Jadi ada perannya dalam pengenaan pungutan SPI tanpa dasar hukum,” pungkasnya.

Universitas Udayana sendiri ketika dihubungi melalui staff jubirnya enggan memberikan tanggapan dengan alasan hal tersebut merupakan materi penyidikan(14/3)  “Sehubungan materi pertanyaan pada poin 11 s/d poin 14 ( pertanyaan mengenai perbedaan sistem dan SK )  sudah masuk pada ranah materi penyidikan yang tengah dilakukan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Bali, maka Unud tidak akan mendahului menjawab sebelum ada hasil penyidikan yang bersifat final. Intinya, Unud sangat menghormati proses hukum yang berjalan dan sangat kooperatif terhadap hal-hal yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan proses hukum berjalan,” tulisnya.

Belum juga usai, penyidikan yang terus bergulir memunculkan nama tersangka baru. I Nyoman Gde Antara, rektor Universitas Udayana ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai ketua panitia pelaksana penerimaan peserta didik baru jalur mandiri. Putu Eka Sabana, selaku Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Bali menyampaikan  penetapan Gde Antara sebagai tersangka sudah disampaikan ketika ia hadir sebagai saksi atas 3 tersangka sebelumnya. “Surat ketetapan tersangka disampaikan kepada yang bersangkutan pada hari itu ( ketika hadir sebagai saksi ) , surat ketetapannya sendiri sudah ditetapkan pada tanggal 8 maret. Itu didapatkan dari penyidikan, didapatkan alat bukti dari keterangan saksi-saksi yang mengungkapkan ada pihak pihak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut, sehingga berdasarkan alat bukti yang terkumpul, penyidik meyakini adanya peranan dari yang bersangkutan, sehingga kemudian setelah dilakukan gelar perkara, expose, pemeriksaan ahli juga dengan PPATK juga mengenai alur masuk dan keluarnya kemana (transaksi keuangan), sehingga penyidik meyakini bahwa ada keterlibatan yang bersangkutan selaku ketua panitia penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri tahun 2018-2022,” ujarnya.

Atas statusnya sebagai tersangka, Gde Antara menceritakan kronologis penetapan dirinya sebagai tersangka dalam pressrelease yang dilakukan jajaran rektorat secara tertutup dengan beberapa perwakilan mahasiswa di Ruang Bangsa, Lt.3 Jimbaran (17/3).  Gde Antara menceritakan pada tanggal 6 Maret 2023 merupakan pemanggilan pertama Gde Antara  sebagai saksi terkait status tersangka 3 orang sebelumnya yang sudah ditetapkan. Namun, ketika itu Gde Antara berhalangan hadir sebagai saksi. Ia menyampaikan setelah berhalangan hadir, ia mengirimkan surat permohonan perubahan kehadirannya sebagai saksi. Hingga ia diperiksa di tanggal 13 Maret 2023.

Gde Antara menuturkan pemeriksaan dirinya sebagai saksi di tanggal 13 Maret 2023 tersebut  dimulai dari jam 8 pagi hingga jam 6 sore WITA.  Di sela jeda pemberian keterangan sebagai saksi, Gde Antara menerangkan mendapatkan kabar penetapan dirinya sebagai tersangka “Kira-kira jam 11 atau setengah 12, saya ambil hp di tas karena  jaksanya ke toilet lama. Saya tunggu saya ambil hp, tiba-tiba disitu saya ada kiriman berita rektor Unud tersangka. Itu saya kaget sekali, padahal itu saya datang sebagai saksi, ” terang Gde Antara.

Endak ada masalah di Udayana, endak ada korupsi. Aduh saya yang namanya korupsi takut, uang satu rupiah endak pernah saya merasa,” tambah Gde Antara

Modus – Putu Eka Sabana menyampaikan modus penggunaan dana SPI yang tidak sesuai peruntukan

Di lain sisi,  pernyataan yang berbeda dilontarkan oleh Putu Eka Sabana  (15/3). Penetapan status tersangka terhadap Gde Antara berdasar keterangan Kepala Seksi Humas Kejati tersebut, didasarkan atas peruntukan dana SPI yang tidak sesuai dengan tujuannya “Kenyataannya tidak ada dari dana SPI itu dianggarkan untuk sarana kampus, justru digunakan untuk item-item yang berbeda,” ujarnya.

Terkait dana SPI yang diduga tidak sesuai dengan peruntukan tersebut, dinilai berjumlah sekitar 105 miliar. “105 M itu terhadap dana SPI yang tidak digunakan sesuai peruntukkan gitu. Jadi dibuat SK Rektor tetapi penggunaannya tidak sesuai,” tambah Putu Eka.

Selain itu, terdapat satu modus lain yang juga diungkap oleh Kepala Seksi Humas Kejati tersebut ialah indikasi SPI dijadikan salah satu indikator kelulusan bagi calon mahasiswa baru jalur mandiri, “Nah itu, fakta yang didapatkan penyidik berkas (indikasi sumbangan SPI yang mempengaruhi kelulusan mahasiswa baru jalur mandiri -red),” terang Putu Eka. .

“Kita mengartikan bahwa yang dilakukan itu tidak sesuai ketentuan. Jadi harusnya ada peraturan menyatakan SPI tidak  boleh menjadi dasar kelulusan mahasiswa, nah ini sumbangan SPI  yang  dijadikan dasar, kalau tidak berhasil mengklik jumlah yang dicantumkan di sana, ngga akan bisa mendaftar, nah itu fakta yang didapatkan,” lanjutnya

Melansir dari wawancara langsung dengan Tim Hukum Universitas Udayana yang diwakili oleh Dr. I Nyoman Sukandia, S.H., M.Hum. di Metro TV menyebutkan bahwa Universitas Udayana telah dikawal oleh 5 auditor, yaitu BPKP, BPK, Inspektorat, Satuan Pengawas Internal, dan Akuntan Publik.  Dirinya pun menegaskan bahwa uang SPI masuk ke rekening negara. “Semua uang SPI masuk ke rekening negara, sehingga untuk mengeluarkannya pun tidak mudah, karena harus seizin dari Kementerian Keuangan. Semua itu masuk ke rekening negara, tidak ada menetes kemanapun, itu yang paling penting,” ujarnya pagi itu (17/3)

 

Upaya Pergerakan Mahasiswa

Sejak awal penerapan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) di Universitas Udayana telah menimbulkan banyak penolakan dan pergolakan dari kalangan mahasiswa. Kekecewaan mahasiswa ini nampak saat pemberlakuan SPI pertama kali pada tahun 2018 dengan pemasangan baliho satir yang terpajang di areal kampus Jimbaran dan Sudirman pada (29/6/2018). Baliho tersebut memuat sindiran terkait mahalnya biaya kuliah di Universitas Udayana pada tahun 2018. Beberapa hari setelahnya, tepat pada Senin (2/7/2018) mahasiswa Unud menggelar aksi penolakan pembayaran SPI bagi mahasiswa baru jalur mandiri dengan menyerukan empat tuntutan kepada pihak rektorat. Diantaranya adalah menolak Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), menolak pengenaan UKT 4 dan 5, membenahi transparan UKT, dan tidak ada pengecualian beasiswa untuk jalur mandiri. Namun, ketika Konferensi Pers pada hari yang sama, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) selaku Rektor Universitas Udayana pada tahun tersebut mengungkapkan bahwa keputusan pemberlakuan SPI tersebut sudah bulat atau final.

Satir – Baliho satir terpajang di sekitar Universitas Udayana saat pertama kali diberlakukannya SPI.

Tak berhenti di sana, pada tahun 2021 kembali mencuat pertanyaan terkait relaksasi  Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan SPI. Kamis (27/5/2021), mahasiswa yang tergabung dalam aliansi “Asa Udayana” melangsungkan aksi tuk mempertanyakan sistem SPI yang menggunakan sistem penentuan nominal SPI sebelum mendapat kelulusan ujian mandiri. Terdapat lima poin tuntutan mengenai SPI yang diajukan oleh perwakilan mahasiswa, yaitu perbedaan grade SPI di tiap prodi, menuntut mahasiswa mandiri mendapat UKT selain tingkat 4 dan 5, menuntut mahasiswa mandiri mendapat Beasiswa KIP, menuntut transparansi nilai ujian dan alokasi dana mandiri, dan menuntut perbaikan mekanisme mahasiswa mandiri mencantumkan nominal setelah dinyatakan lulus. Namun, aksi tersebut tak berbuah manis karena hanya satu poin yang dibahas yaitu terkait mekanisme.

Aksi – mahasiswa melangsungkan aksi untuk mempertanyakan relaksasi UKT dan SPI pada 27 Mei 2021 di depan Gedung Rektorat

Mahasiswa kembali menagih janji Rektorat ketika audiensi pada Senin (7/6/2021) dengan menyoal perihal mekanisme SPI, tetapi audiensi singkat selama 30 menit yang tak membuahkan hasil tersebut memicu keinginan massa aksi untuk melakukan audiensi lanjutan. Audiensi pun berlanjut pada Kamis (24/6/2021), namun sayang tuntutan perihal mekanisme SPI masih belum dipenuhi.

Lebih lanjut, setelah ditetapkannya 3 pejabat struktural dan rektor Universitas Udayana sebagai tersangka korupsi SPI, mahasiswa kembali ramai membahas dan mengkritisi pemberlakuan dan mekanisme SPI di Universitas Udayana semenjak tahun 2018. Tak sedikit pula mahasiswa menagih dan mempertanyakan transparansi penggunaan SPI dari tahun 2018.

Menyikapi hal tersebut, BEM PM Universitas Udayana menggagas konsolidasi akbar dengan 13 fakultas dan terbuka bagi mahasiswa/i Universitas Udayana pada Selasa (14/3). Sore itu, mahasiswa ramai mengeluhkan fasilitas perkuliahan, lantaran tidak sesuai dengan besarnya pungutan SPI pada mahasiswa jalur mandiri. Beberapa diantaranya menyarankan SPI dihapuskan dan beberapa yang lainnya menyarankan untuk mengubah sistem SPI yang telah berjalan.  Perdebatan perihal penghapusan SPI tersebut berlangsung cukup alot, mengingat Unud sendiri masih membutuhkan dana untuk melakukan pembangunan dan peningkatan fasilitas. Hingga pada akhirnya, diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan mengenai tuntutan mekanisme SPI yang perlu keterbukaan bagi seluruh civitas akademika.

Keluhan – ratusan mahasiswaa memadati Parkiran Tingkat FKH untuk menyampaikan keluhan terkait fasilitas perkuliahan dan transpransi SPI

“Tentunya kami dari BEM PM melihat bahwasanya ada banyak kepentingan di balik tersangkanya Rektor. Kami pun mengadakan konsol segera karena ingin tidak ingin lambat dalam bergerak, dan tadi pagi pun kami sudah ke Kejati dengan tujuan memastikan, kami sudah konkritkan beberapa data, beberapa tahun terakhir itu sudah jelas kakak-kakak kami untuk melakukan melalui Gerakan satu udayana. Sehingga, kami pun sudah memiliki beberapa kajian dari angkatan sebelumnya dan fakultas pun sudah mendapat kajian,” ungkap Bagus Padmanegara malam itu seusai konsolidasi.

Menindaklanjuti hasil Konsolidasi Akbar tersebut, mahasiswa berkumpul guna menyampaikan keresahannya secara langsung dihadapan para petinggi Universitas Udayana mengenai fasilitas perkuliahan yang kurang memadai sekaligus menuntut transparansi SPI serta pelibatan mahasiswa dalam penyusunan sistem SPI dan Jalur Mandiri Universitas Udayana. Berbondong-bondong ratusan mahasiswa yang terdiri dari berbagai program studi meramaikan Gedung Rektorat Universitas Udayana. Audiensi yang mengusung nama “Sidang Rakyat Udayana” tersebut menghadirkan Wakil Rektor 1,2,3, dan 4, jajaran dekanat, serta perwakilan mahasiswa 13  fakultas di lingkungan Universitas Udayana.

Rektorat – jajaran rektorat menandatangi berita acara hasil Sidang Rakyat Udayana pada Rabu (16/3)

Berdasarkan Sidang Rakyat Udayana, maka didapatkan beberapa kesepakatan yang dibubuhkan dalam Berita Acara No: No: 004/F/BEM-UNUD/I/2023. Adapun poin-poin tuntutan yang telah disepakati, yaitu:

  1. Perbaikan fasilitas yang menunjang akademik mahasiswa secepatnya sesuai seperti yang disampaikan masing – masing fakultas
  2. Perbaikan kualitas dan kuantitas tenaga pendidik di Universitas Udayana
  3. Memberikan transparansi pengelolaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) di seluruh fakultas Universitas Udayana mulai tahun akademik 2018 dan seterusnya (dijadwalkan Kamis, 16 Maret 2023)
  4. Pelibatan perwakilan mahasiswa dalam penyusunan mekanisme SPI, termasuk SK Rektor di tahun 2023 mengenai Mekanisme Penerimaan Jalur Mandiri.  Perubahan mekanisme penerapan Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI), dimana akan ada penghapusan sistem grade dengan dimulai dari 0, serta pembayaran SPI dilakukan setelah mahasiswa dinyatakan lulus dan sudah mendapatkan NIM
  5. Akan ada penjadwalan pertemuan dengan Rektor (direncanakan untuk dijadwalkan pada hari Jumat, 17 Maret 2023) untuk klarifikasi kasus dugaan korupsi dana SPI.

Menindaklanjuti poin kelima dari berita acara tersebut, pada Jumat (18/3/2023) BEM PM, DPM PM, perwakilan fakultas, dan beberapa perwakilan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menagih janji untuk bertemu Rektor Universitas Udayana, Prof I Nyoman Gde Antara. Pukul 15.00 WITA, Rektor Unud memenuhi janji untuk bertemu dengan mahasiswa di Gedung Rektorat. Pertemuan tersebut dilakukan secara tertutup dengan mendiskusikan perihal sumber pendanaan Universitas Udayana, keluhan terkait fasilitas perkuliahan yang tidak layak, serta perdebatan terkait dihapuskannya atau tidak SPI di Unud. Selain itu, Prof I Nyoman Gde Antara turut menjelaskan kronologis ditetapkannya menjadi tersangka. Pertemuan tersebut berlangsung cukup alot, tetapi masih nihil keputusan sehingga akan dijadwalkan pertemuan kembali dengan pihak rektorat.

Sepenggal Kisah 

Sebagai Universitas tertua di Bali, banyak orang yang melirik Unud sebagai tujuan untuk melanjutkan pendidikan tingginya. Tak jarang mereka berjuang sampai jalur mandiri dengan menyumbangkan dana yang tak sedikit pula,  dengan harapan bisa mengenyam pendidikan di Universitas Pewahyu Rakyat tersebut.  “Keputusanku ngambil spi level 4 ( 225 juta ) karena mau cari aman, karena pernah denger kalo semakin di bawah peluang masuk FK juga semakin kecil,“ cerita salah seorang mahasiswa kedokteran angkatan 21.

“Mengingat isu-isu yang telah beredar di masyarakat bahwa jika semakin kecil nominalnya maka kecil peluangnya untuk diterima, maka dengan adanya isu yang beredar tersebut membuat aku dan orang tua khawatir sehingga kami menimbang lebih matang untuk menaruh nominal dengan jumlah yang cukup besar,” jawaban dari Ona, mahasiswa Psikologi angkatan 22

 “Aku ngisi level 2 (125 juta), karena menyesuaikan ekonomi, denger sih dari mulut ke mulut mengenai sumbangan banyak peluang masuk lebih banyak, tapi karena faktor ekonomi, jadi isi semampunya aja, sama yakin juga kalo nilai juga jadi pertimbangan,” cerita dari mahasiswa kedokteran angkatan 21 lainnya.

Keyakinan dari mahasiswa-mahasiswa tersebut berkorelasi dengan tidak adanya transparansi mengenai ujian mandiri, dalam hal ini  acuan passing grade untuk bisa lolos seleksi ujian mandiri. Selain itu, mekanisme pendaftaran ujian mandiri yang mesti memasukan nominal SPI terlebih dahulu membuat mahasiswa yang mendaftar merasa nominal yang tinggi akan memperbesar peluang kelulusan mereka. Pihak rektorat melalui staff jubirnya  memberikan respon “Pemeringkatan peserta untuk masing-masing program studi dilakukan dalam urutan nilai akhir yang menurun, dimulai dari peserta dengan nilai akhir yang tertinggi sampai terendah. Alokasi peserta pada program studi dilakukan mulai dari peserta dengan peringkat tertinggi, diikuti oleh peringkat berikutnya, dengan jumlah sesuai dengan daya tampung masing-masing program studi” ungkap staff jubir melalui pesan tertulis (14/3)

Di lain sisi, mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar SPI dengan nominal yang besar hanya berpasrah pada peruntungan yang ada “ Untuk  SPI nya sendiri aku dan keluargaku diskusi buat milih di nominal 23 juta, level 4. Ini karena levelnya ada di tengah-tengah gitu loh,  pas gitu untuk dana yg bisa dibayar ortuku dan untuk cerita itu ( besaran SPI mempengaruhi kelulusan -red)  tentu aku pernah denger karena ya FK banyak saingannya gitu dibilang ya, tahu sendiri lah ceritanya gimana, itu juga yang jadi pertimbanganku sebenernya pun aku khawatir nggak masuk karena SPI  ku yang  segitu termasuk pas-pasan banget kalo kata saudaraku yg anak FK  juga, tapi ya syukurnya diterima sampai detik ini  dan nggak ngaruh ke UKT yang aku dapat,” ujar Sri, mahasiswa Psikologi angkatan 22.

Pun, usai tes berakhir, skor kelulusan tak pernah diterima secara teperinci oleh mereka “Tidak ada keterangan skor minimal untuk lolos, hanya dicantumkan skor yang diperoleh peserta, nilai yang keluar adalah nilai keseluruhan tanpa diperinci persubtesnya, ” pendapat Ona, mahasiswa angkatan 22 FK.

Sulitnya melihat transparansi dari kebijakan SPI turut berdampak bagi mahasiswa yang prodinya tak semestinya membayar SPI. Melihat laman mandiri yang mencantumkan nominal SPI, meyakinkan Mawar ( nama samaran -red ) untuk mengisi SPI dengan nominal tertinggi  “Nggak paham sama sekali (mengenai sistematika pembayaran SPI). Aku merasa gegabah karena ngga ada pilihan lain, mau kuliah (di Udayana) dan itu terdesak, ” cerita Mawar, mahasiswi prodi Ilmu Sejarah.

“Waktu itu pikiranku buntu, karena tertolak SNM SBM, jadi memilih manajemen dan sejarah. karena mirip dengan hukum ( prodi pilihan ketika snm dan sbm)  jadi aku memilih sejarah. Aku punya kerabat yang bilang kalau mengisi SPI mending lebih besar dari nominal biar peluang masuk lebih besar. Tapi, aku punya teman yang spi 0 masuk dan aku nggak tahu sejarah gampang masuk dan kekurangan SDM karena pengetahuanku kurang luas tentang prodi sejarah jadi iseng mengisi agar diterima,” Ujar Melati ( red – nama samaran), mahasiswi prodi Ilmu Sejarah

 “Iya (membayar SPI di Prodi Sejarah), aku nggak tahu kirain semua prodi harus bayar (SPI)” tambah Melati

Di sisi lain, kegelisahan terhadap fasilitas pembelajaran di masing-masing fakultas turut penting menjadi perhatian. Keluhan ini sudah lama didengungkan mahasiswa-mahasiswa di fakultas-fakultas tertentu. Momentumnya adalah ketika  konsolidasi akbar yang dilaksanakan (15/2) “Toilet bermasalah, sarana prasarana mengajar yang belum siap, jumlah bangku yang kurang, parkiran yang tidak memadai, lift yang belum bisa dipakai, dan lain sebagainya. “Salah satu sarana prasarana mahasiswa FISIP untuk perkuliahan seperti CCTV, parkiran masih kurang, itupun untuk angkatan 2022 masih kurang,” ujar salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP)

“Masalah fasilitas kurang, tenaga pendidik, kuota penerimaan mahasiswa. Ada dosen yang tidak mengajar sampai full karena dosen mengajar di dua sampai tiga kelas yang bersamaan, adanya keterlambatan penerimaan informasi jadwal perkuliahan. Tidak balance-nya mahasiswa yang masuk dengan dosen yang mengajar,” ujar mahasiswa FH.

Menjawab hal tersebut, Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, SE.,MS selaku Wakil Rektor II mengungkapkan bahwa keluhan perihal fasilitas perkuliahan akan secepatnya dipenuhi sesuai dengan keadaan sumber daya,  “Karena apapun fasilitas yang diperlukan oleh fakultas, kami memfasilitasi usulan tersebut berdasarkan sumber daya yang kami miliki. Kami akan lengkapi secepatnya dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada,” ungkapnya pada Sidang Rakyat Udayana, Rabu (16/3).

 

Apakah Sudah Tuntas?

Di balik berbagai dinamika yang terjadi, bayangan akan terungkapnya aktor-aktor lain yang terlibat dalam peliknya masalah ini patut menjadi perhatian. Menyoal pasal yang disangkakan pada Rektor Unud,  I Nyoman Gde Antara ialah pasal Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 12 huruf e jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.  Melihat adanya pasal   pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP  dalam kasus ini, mengindikasikan adanya perbuatan pidana yang dilakukan secara bersama. Mengingat pula, dugaan korupsi yang ada merupakan permasalahan sistemik yang tidak mungkin bisa dilakukan orang-perorangan.

Penting untuk kembali mengkritisi hal ini bersama. Ketika masa awal pemberlakuan SPI sudah barang tentu segala keputusan akan tetap bertumpu dan mesti diketahui pucuk pimpinan. Bukan tak mungkin keterlibatan aktor lainnya  dengan kuasa yang lebih tinggi  juga turut andil dalam hal ini; siapa mereka yang merencanakan adanya kebijakan SPI, bagaimana mekanisme dan pertimbangannya, merupakan segala problematika yang selalu menjadi pertanyaan tak berkesudahan dan semestinya harus dijawab tuntas. Mengawal kasus ini agar terus berada pada koridornya, tentu merupakan tugas bersama. Sembari menerka, apakah semua bilik telah dibuka? Atau ada yang masih belum terketuk dan bersembunyi?

 

Reporter: Tim Redaksi Pers Akademika

Penulis: Tim Redaksi Pers Akademika

Ilustrator : Tim DKV Pers Akademika

You May Also Like