KORUPSI MENJANGKIT PERGURUAN TINGGI : TERSUNGKURNYA INTEGRITAS CIVITAS AKADEMIK

Kampus tidak lagi kebal terhadap perilaku koruptif, keterlibatan pejabat-pejabat kampus dalam praktik  korupsi menandakan adanya kemerosotan dalam ekosistem antikorupsi. Lalu disebut sebagai zona integritas, apakah kampus masih berintegritas?

Pengantar

Korupsi saat ini masih menjadi persoalan sektoral para pemangku kepentingan yang dilakukan secara terorganisir, sistemik, dan massiv. Persoalan rasuah ini semakin bersemai dan menyubur di berbagai lembaga serta profesi dengan modus dan pola-pola yang variatif. Aristotle (dalam Gunardi Endro, 2017 :145) menjelaskan bahwa korupsi, sebagai lawan dari pembentukan/pembangkitan (generation), mengacu pada sesuatu yang berhenti menjadi, yang mengalami kemerosotan, atau yang binasa. Pada seorang manusia, korupsi berarti kemerosotan pada kecenderungan berperilaku dari apa yang seharusnya menjadi perilaku manusia. Sedangkan pada konteks pemerintahan suatu Negara, korupsi berarti kemerosotan yang sifatnya sistemik terhadap praktik-praktik dan komitmen-komitmen yang membentuk sistem pemerintahan yang sehat Buchanan  (dalam Gunardi Endro, 2017 : 145)

Sementara itu, Euben (1989) menginterpretasikan korupsi sebagai tindakan tunggal dengan berlandaskan pada asumsi bahwa setiap orang merupakan individu egois yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Demikian, dalam sudut pandang yang lebih luas, korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan dan korupsi tunggal pada hakikatnya memiliki efek destruktif dalam sebuah kehidupan. Pemaknaan ini berkorelasi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan korupsi merupakan perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperkaya diri sendiri maupun orang lain atau perusahaan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian nasional.

Melihat kondisi saat ini, kasus korupsi di Indonesia menunjukan peningkatan yang konsisten, hal tersebut ditunjukan dalam rilis Transparency International Indonesia (TII) tentang Indeks Persepsi Korupsi. Hasil survei menunjukan bahwa tahun 2022 Indonesia mengalami penurunan skor yakni dari 38 menjadi 34, penurunan skor sebanyak 4 poin ini tercatat sebagai degradasi terburuk sejak era reformasi. Sepanjang tahun 2022, kondisi korupsi di Indonesia memang semakin mengkhawatirkan. Sebab, korupsi terjadi hampir di seluruh sektor mulai dari lembaga pemerintahan hingga perguruan tinggi.

Berdasarkan Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022 mengenai tren penindakan kasus korupsi, menunjukan bahwa korupsi sektor pendidikan konsisten menjadi salah satu sektor yang paling banyak ditindak oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Mengutip laporan yang sama  setidaknya dari tahun 2016 hingga 2021 semester 1, korupsi sektor pendidikan masuk dalam lima besar korupsi berdasarkan sektor bersama diikuti kemudian dengan sektor anggaran desa, pemerintah, transportasi, dan perbankan, hal tersebut membuktikan bahwa domain akademik saat ini menjadi ladang tindak pidana korupsi. Lebih lanjut dalam kajian ICW, sepanjang Januari 2016 hingga September 2021 ditemukan sebanyak 240 kasus korupsi di sektor pendidikan yang ditindak oleh APH.

Pada ekosistem perguruan tinggi sejumlah sivitas akademikanya juga terseret dalam lingkaran korupsi, aktor yang sedang terbelit korupsi biasanya adalah pimpinan, rektor, dekan, dan pejabat struktural. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Maka, status pemimpin yang memiliki kuasa tersebut sangat rawan untuk diselewengkan. 

Apabila ditelaah, secara normatif tugas Perguruan Tinggi adalah mengajarkan moral dan kejujuran terhadap  generasi calon penerus bangsa. Namun faktanya kasus-kasus korupsi justru tumbuh di domain akademik yang seyogyanya harus steril dari perilaku koruptif, dengan adanya persoalan ini, upaya optimalisasi pelayanan pendidikan terancam berjalan lamban.

Implikasinya adalah sikap antipati dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap perguruan tinggi yang dianggap sebagai imun dari tindakan korupsi. Untuk membebaskan perguruan tinggi dari perilaku koruptif tentu bukanlah persoalan mudah, fakta menunjukkan terjadinya kontras antara normatif dengan realitas. Alhasil, untuk merespon degradasi ekosistem antikorupsi di perguruan tinggi diperlukan evaluasi dan reformasi kelembagaan yang berorientasi terhadap penguatan moralitas, etik, pencegahan korupsi oleh sivitas akademika.

Potret Korupsi di Perguruan Tinggi

Korupsi di perguruan tinggi sejatinya bukan persoalan baru, sebab fenomena ini memang telah merambah di berbagai sektor. Ironis, padahal kampus merupakan ekosistem pendidikan yang membawa marwah untuk menanamkan nilai moralitas dan melahirkan generasi yang antikorupsi. Namun, saat ini perguruan tinggi telah menjadi bagian dari korupsi itu sendiri. Tersungkurnya integritas civitas akademik terlihat pada sejumlah temuan rasuah yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, tindakan tersebut kemudian menjadi pukulan keras bagi institusi pendidikan di Indonesia saat ini.

Laporan Kompas menyebutkan pernah terjadi kasus korupsi pengadaan dan instalasi teknologi dan informasi (TI) Gedung Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (UI) tahun anggaran 2010-2011. Dalam kasus tersebut, KPK menetapkan Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia, Keuangan, dan Administrasi Umum UI, Tafsir Nurchami sebagai tersangka pada tahun 2014.

Berikutnya, rilis ICW menguak kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di perguruan tinggi terjadi di Universitas Airlangga (Unair). 30 Maret 2016 lalu, Rektor Unair, Fasichul Lisan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dua kasus pengadaan barang dan jasa. Beberapa tahun berlalu berdasarkan laporan detikedu, KPK kembali menemukan kasus korupsi yang menimpa perguruan tinggi di tanah air. Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani ditetapkan sebagai tersangka setelah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu (20/8).

Selain Karomani, KPK menetapkan Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi, Ketua Senat Unila Muhammad Basri, dan pihak swasta Andi Desfiandi. KPK menduga Karomani aktif terlibat dalam menentukan kelulusan calon mahasiswa baru dalam seleksi Mandiri masuk Universitas Lampung (Simanila) Karomani mematok harga yang bervariasi untuk meluluskan mahasiswa mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 350 juta.

Tidak lama berselang dugaan kasus korupsi kembali mencuat, kali ini datang dari Universitas Udayana. Pada (12/02/2023) Kejaksaan Tinggi Bali menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) ketiga tersangka diduga melakukan pungutan dan pengenaan uang SPI tanpa dasar kepada 362 calon mahasiswa baru seleksi jalur mandiri di Universitas Udayana.

Menyusul ketiga tersangka Kejati Bali menetapkan Rektor Unud I Nyoman Gede Antara sebagai tersangka keempat dalam dugaan kasus korupsi dana SPI mahasiswa baru Jalur mandiri tahun akademik 2018-2022. Saat itu I Nyoman Gede Antara menjabat sebagai Ketua Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur Mandiri Tahun Akademik 2018/2022, bersama tiga tersangka lainnya.

Laporan-laporan tersebut adalah sejumlah kasus dan dugaan korupsi yang terendus, sebab maraknya kasus korupsi di indonesia ibarat gunung es. Tindak pidana yang terbongkar baru yang timbul di permukaan sementara potensi dengan modus-modus lainnya belum diketahui. Terjeratnya sivitas akademik dalam lingkaran korupsi, menunjukan runtuhnya kredibilitas perguruan tinggi sebagai penjaga kebenaran yang tidak lagi kebal terhadap tindakan korup.

Pintu Masuk Korupsi di Sektor Pendidikan Tinggi

Modus-modus korupsi tumbuh dalam rongga-rongga perguruan tinggi, pintu masuknya adalah penyelenggaraan kekuasaan yang melenceng dari standar yang ditetapkan untuk kepentingan seluruh individu. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut secara lebih komprehensif apabila dimaknai secara paradigmatik merupakan penyalahgunaan kekuasaan di semua bidang kehidupan. Ketika kekuasaan itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi tertentu (partikular) dengan memanipulasi seolah-olah kekuasaan itu masih digunakan untuk kebaikan bersama, maka kasus korupsi secara paradigmatik telah terjadi. Jadi jelas, korupsi secara paradigmatik memanipulasi kebaikan bersama (common good) untuk kepentingan partikular. (Gunardi Endro, 2017)

Hal ini sejalan dengan definisi korupsi menurut Suwartojo, yang mengartikan korupsi sebagai tindakan pelanggaran norma oleh seorang atau lebih dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan lewat proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan, pemberian fasilitas atau jasa lain yang dilakukan dalam kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau aset, penyimpanan uang atau aset serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara dan khalayak luas demi kepentingan pribadi atau kelompok (Junaidi Suwartojo, 1997)

Paralel dengan penjelasan Suwartojo, dugaan tindak pidana korupsi dapat masuk ke dalam perguruan tinggi melalui banyak pintu. Mulai dari sektor pengelolaan aset dan keuangan, penerimaan mahasiswa, pengadaan yang meliputi fee proyek, pengaturan/rekayasa pengadaan, dan mark up serta konflik kepentingan. Dalam konteks sektor penerimaan mahasiswa jalur mandiri adalah salah satu sektor yang sangat rawan menjadi ladang korupsi bagi pejabat-pejabat PTN.

Heterogennya mekanisme penerimaan mahasiswa di berbagai PTN menyebabkan kaburnya transparansi dan akuntabilitas proses. Hal ini berangkat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, yaitu setiap PTN diberikan keleluasaan untuk mengatur seleksi sesuai kepentingan PTN sendiri. Namun demikian, pada realitanya keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk memberikan persyaratan dan wewenang dalam memberikan nilai dan kelulusan inilah yang kemudian rawan diselewengkan.

Lebih jauh, pada sistem ini diterapkan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang dibebankan kepada calon mahasiswa baru, dengan kuota yang diterima maksimal 30 persen dari total mahasiswa sesuai isi dari Pasal 15 ayat (5) Permendikbud No. 48 Tahun 2022. Namun nyatanya, kuota 30 persen ternyata tidak seimbang dengan tingginya peminat yang mendaftar. Menurut ICW faktor ini akhirnya memunculkan favoritisme, kekerabatan bahkan berlaku “mekanisme pasar”, siapa yang berani membayar lebih besar akan lolos seleksi mandiri, itu sebabnya tidak sedikit yang kemudian berani menggelontorkan uang ratusan juta hingga milyaran rupiah untuk dapat menembus jurusan di universitas yang diimpikan.

Pemikiran seperti itu dapat muncul sebab penyelenggaraan sistem SPI di perguruan tinggi sering kali tidak disertai dengan transparansi hasil seleksi atau bahkan mahasiswa diwajibkan mencantumkan nominal sumbangan sebagai tiket mendaftar jalur mandiri. Peneliti ICW, Siti Juliantari menyoroti faktor lain yang korelatif dengan persoalan saat ini yaitu kebijakan otonomi kepada perguruan tinggi, ia menyebut otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi dalam konteks akademik relatif membaik, namun tidak demikian dalam hal non-akademik. Contohnya, pengelolaan keuangan di kampus yang tidak dibarengi praktik keterbukaan informasi, hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal korupsi. (ICW, 2016)

 

Di sisi lain, terdapat beberapa pola-pola korupsi yang potensial terjadi di perguruan tinggi, diantaranya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, ini adalah modus yang paling banyak digunakan. Pola lainnya yaitu korupsi dana beasiswa, umumnya berupa pemotongan besaran beasiswa atau pengambilalihan seluruh atau sebagian dana beasiswa, membuat dana yang tersedia tidak tersalurkan kepada mahasiswa. Praktik korupsi dengan menggunakan pola suap juga banyak ditemukan. Misalnya, suap atau “jual beli” nilai, bentuknya dapat berupa uang dan barang yang diberikan mahasiswa kepada dosennya agar mereka diluluskan. Pola gratifikasi mahasiswa terhadap dosen juga umum terjadi. (ICW, 2016)

Maka dari itu, perguruan tinggi harus dijauhkan dari konflik kepentingan, sistem pengawasan terhadap perguruan tinggi juga harus berjalan dengan mendorong tata kelola Good University Governance (GUG) melalui internalisasi prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Namun masalahnya, partisipasi mahasiswa masih dinilai powerless. Alih-alih turut membantu pemberantasan korupsi dalam ekosistem perguruan tinggi, akses data dan informasi untuk mengidentifikasi tindakan korupsi saja masih sangat terbatas. Padahal, transparansi data dan informasi merupakan instrumen penting untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi proses menanamkan nilai-nilai antikorupsi kepada mahasiswa.

Pentingnya Integritas Perguruan Tinggi

Sejatinya perguruan tinggi memiliki kedudukan yang strategis dan antisipatif dalam menanamkan nilai antikorupsi. Menurut Oksidelfa Yanto (2020) perguruan tinggi dipandang sebagai motor penggerak dan juga penyeimbang dalam mengontrol tugas dan tanggungjawab institusi penegak hukum ketika melaksanakan  tugasnya memberantas korupsi. Dalam hal ini ketika ada perlakuan istimewa kepada pelaku korupsi yang dapat mencederai rasa keadilan, maka perguruan tinggi dengan menggandeng masyarakat dapat menyampaikan kritik dan masukan. Fungsi ini kemudian korelatif dengan implementasi Tri Dharma Perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat.

Civitas akademik meliputi unsur dosen dan mahasiswa diharapkan mampu berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat terkait upaya menangkal perilaku koruptif. Maka untuk tetap pada koridornya, perguruan tinggi harus mewujudkan zona-zona integritas dalam bentuk tata kelola, regulasi hingga penataan sistem. Sebab, integritas bukan hanya secara empiris mencegah korupsi melainkan secara logis menangkal Korupsi. (Gunardi Endro, 2017)

Integritas secara luas digunakan untuk merepresentasikan kekompakan atau utuhnya sesuatu, teridentifikasi dari reaksinya terhadap suatu rangsangan lingkungannya. Lebih lanjut Gunardi Endro (2017) menyatakan, Integritas pada akhirnya bermuara pada pemahaman mengenai pentingnya dua proses yang berlangsung serentak, yaitu proses pengendalian internal dan partisipasi eksternal. Pada kasus manusia atau institusi yang dikendalikan manusia proses pengendalian internal berkaitan dengan persoalan bagaimana membangun dan mempertahankan identitas diri, sedangkan proses partisipasi eksternal berkenaan dengan persoalan bagaimana mewujudkan keputusan dan tindakan yang baik berdasarkan identitas diri itu, identitas diri seharusnya tidak terlepas dari keputusan dan tindakan yang baik.

Dalam konteks menangkal terpaan korupsi yang identik dengan perilaku penyalahgunaan kekuasaan dengan memanipulasi sesuatu yang seharusnya menjadi kebaikan bersama menjadi kepentingan pribadi tertentu (partikular) di domain akademik, maka penekanan terhadap upaya menjaga Integritas itu menjadi vital. Artinya arah fungsional  integritas sebagai suatu karakter baik manusia, budaya atau organisasi, yang menimbulkan daya dorong bagi pemiliknya untuk mewujudkan keputusan dan tindakan untuk  kebaikan  bersama.

Upaya mewujudkan zona berintegritas pada ekosistem perguruan tinggi tersebut juga termuat pada keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kepmendikbud) Nomor 1176/P/2020 tentang pedomanan pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) serta Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kepmendikbud Nomor 1176/P2020 tersebut menjadi landasan hukum dan langkah awal diterapkannya Zona Integritas (ZI) di berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang terintegrasi di bawah kewenangan Kemendikbud Ristek.

Mengacu pada kepmendikbud tersebut, Zona Integritas (ZI) adalah predikat yang diberikan kepada satuan kerja di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang pimpinan satuan kerja dan seluruh pegawainya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (ZI-WBK/WBBM) melalui Reformasi Birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Penutup

Terseretnya civitas akademik dalam dugaan tindak pidana korupsi menjadi pukulan keras terhadap integritas perguruan tinggi yang seharusnya steril dari perilaku koruptif. Persoalan ini semakin bersemai dan menyubur dengan modus dan pola-pola yang variatif. Perguruan tinggi rawan menjadi lahan basah korupsi sebab masih adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan. Maka dari itu, perguruan tinggi harus dijauhkan dari konflik kepentingan, degradasi ekosistem antikorupsi yang terjadi harus disikapi melalui evaluasi dan reformasi kelembagaan yang berorientasi terhadap penguatan moralitas, etik, pencegahan korupsi oleh sivitas akademika.

Kemudian, penting adanya penguatan terhadap integritas perguruan tinggi sebagai sebuah karakter yang dapat menimbulkan daya dorong pada keberfungsian kekuasaan terkait dengan kemampuan institusi dan unsur-unsur di dalamnya untuk mengambil langkah tegas sebagai upaya menangkal korupsi masuk ke domain akademik. Di sisi lain, perlu ada regulasi yang jelas dari pemerintah terkait pelaksanaan sistem mandiri di Indonesia. Sebab, heterogennya mekanisme penerimaan mahasiswa di berbagai PTN menyebabkan kaburnya transparansi dan akuntabilitas proses sehingga rawan diselewengkan.

Selain itu sistem pengawasan terhadap perguruan tinggi juga harus demokratis, partisipatif, dan kolaboratif. Sehingga mahasiswa dan unsur-unsur lainya dapat turut membantu upaya pemberantasan korupsi dalam ekosistem perguruan tinggi, hal ini dapat diimplementasikan dengan  mendorong tata kelola Good University Governance (GUG) melalui internalisasi prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi, dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif bagi proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi kepada mahasiswa dan seluruh civitas akademik.

Penulis : Trisna Cintya, Cynthia Marliesye Maluta

Ilustrator : Elok

 

Daftar Pustaka

Endro, G. (2017). Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi. Integritas : Jurnal Antikorupsi, 3(1), 131–152. https://doi.org/10.32697/integritas.v3i1.159.

Yanto, Oksidelfa. 2020. Mengoptimalkan Peran Perguruan Tinggi dalam Mengurangi Perilaku Korupsi. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol 17, No 1, 70-84.   https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/535

Soegiono, Agie Nugroho. 2017. Agenda Open Government: Memerangi Korupsi Melalui Inisiatif. Vol 3 No 2.

Ludigdo, Unti. 2018. Korupsi di Perguruan Tinggi. Jurnal Transformatif, Vol 4, No 1, 1-12. https://transformative.ub.ac.id/index.php/jtr/article/view/11

Sulistyo, P.  D. 2022. Perguruan Tinggi Rawan Jadi Ladang Korupsi. URL: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/16/perguruan-tinggi-rawan-jadi-ladang-korupsi. Diakses pada 20  Maret 2023.

Handini, D. 2021. Pendidikan Antikorupsi Penting untuk Wujudkan Zona Integritas di Perguruan Tinggi. URL: https://dikti.kemdikbud.go.id/kabar-dikti/kabar/pendidikan-antikorupsi-penting-untuk-wujudkan-zona-integritas-di-perguruan-tinggi/. Diakses pada 21 Maret 2023.

Egi. 2016. Korupsi di Perguruan Tinggi. URL: https://antikorupsi.org/id/article/korupsi-di-perguruan-tinggi. Diakses pada 21 Maret 2023.

Wijaya, Sigit. 2022. Ironi Pendidikan Jadi Lahan Korupsi. URL: https://antikorupsi.org/id/ironi-pendidikan-jadi-lahan-korupsi. Diakses pada 18 Maret 2023.

Bona, M. F. 2022. Ini Aturan Baru Penerimaan Mahasiswa Jalur Mandiri di PTN. URL: https://investor.id/national/305901/ini-aturan-baru-penerimaan-mahasiswa-jalur-mandiri-di-ptn. Diakses pada 21 Maret 2023.

You May Also Like