Setelah 100 tahun berselang, akhirnya penantian masyarakat Desa Adat Bugbug, Karangasem untuk kembali melaksanakan upacara Karya Agung Ngenteg Linggih di Pura Luhur Bukit Gumang tercapai. Ngenteg Linggih memiliki tujuan untuk mengukuhkan kembali kedudukan atau linggih Niyasa Ida Bhatara-Bhatari yang melinggih/ berstana di Pura Luhur Bukit Gumang. Menariknya, upacara ini melibatkan patisipasi lima desa adat dengan prosesi upacara yang begitu unik.
Pura Luhur Bukit Gumang merupakan Pura Khayangan Jagat yang diempon oleh lima desa adat (Panca Desa) yang terdapat di Kabupaten Karangasem, Bali. Adapun kelima desa tersebut meliputi: Desa Adat Bugbug sebagai desa pengempon utama, dan didukung pleh; Desa Adat Bebandem, Desa Adat Jasri, Desa Adat Ngis, dan Desa Adat Datah. Pura yang dipercara sebagai stana dari Bhatara Gede Gumang ini diperkirakan sudah berdiri sejak zaman Bali Kuna, yakni pada tahun saka 11 (rah candra teng bumi, isaka eka tang bumi). Dalam Prasasti Sari Manik Tulukbiyu menyebutkan tentang Kutara Kanda Purana Dewa Bangsul, menjelaskan tentang para dewa yang berstana di Pura Luhur Bukit Gumang itu awalnya berada di Pura Shada, Desa Tangeb, Kapal lalu pindah ke Uluwatu. Ketika di Uuwatu beliau bernama Sang Hyang Sinuhun Kidul. Dari Uluwatu lalu beliau menuju ke Bukit Byaha dan mempersunting putri Bhatara Gede di Bukit Bhyaha yang bernama Dewi Ayu Mas. Setelah itu beliau menuju Bukit Gumang dan disebut Bhataa Gede Gumang.
Pada pertengahan September-awal Oktober 2021, diadakan suatu rangkaian upacara besar yang disebut “Karya Agung Ngenteg Linggih” di Pura Luhur Bukit Gumang. Ngenteg Linggih merupakan upacara yang bertujuan untuk mengukuhkan kembali kedudukan atau linggih Niyasa Ida Bhatara-Bhatari yang melinggih/ berstana di Pura Luhur Bukit Gumang. Jero Nyoman Purwa Ngurah Arsana,.ST selaku Bendesa Adat Bugbug/Kelihan Desa Adat Bugbug menjelaskan bahwa upacara Ngenteg Linggih tersebut sudah lama dinanti-nanti oleh masyarakat Desa Adat Bugbug, karena belum dilaksanakan selama kurang lebih 100 tahun. Secara garis besar, upacara tersebut dimulai dengan Ngeresigana, Tabuh Gentuh, Labuh Gentuh Ngenteg Linggih, serta Nubung Pedagingan lan Mapeselang. Runtutan acara mulai dari persiapan membuat banten lengkap hingga memulai pelaksanaan dengan prosesi yang biasa dilakukan dalam upacara Ngenteg Linggih Mendem Pedagingan, yaitu dengan menyiapkan berbagai jenis binatang seperti: menjangan, kerbau, petu (sejenis kera), kambing, anjing, burung, serta beberapa jenis hewan langka.
Selain Desa Adat Bugbug, Upacara Ngenteg Linggih tersebut juga melibatkan desa adat pengempon Pura Luhur Gumang lainnya. Masing-masing desa adat tersebut mengarak jempana/joli sebagai simbolis atau wujud linggih dari kehadiran para Bhatara/Bhatari yang merupakan putra putri Ida Betara Gede Gumang sehingga dalam acara Ngenteg Linggih ini wajib hadir sebagai bagian dari keluarga besar yang meliputi : Desa Adat Bebandem , Desa Adat Jasri , Desa Adat Ngis dan Desa Adat Datah. Tidak hanya pengarakkan jempana/joli, barisan deha dan teruna desa yang berjalan beriringan juga turut menyemarakkan upacara Ngenteg Linggih. Para deha menggunakan hiasan bunga di kepala yang menambah keanggunan mereka dengan balutan kain khas daerah, begitupun para teruna yang nampak gagah dengan busana khusus mereka. Puput pemargin upacara Nyineb dilaksanakan pada Saniscara Umanis Toulu, yaitu tanggal 2 Oktober 2021.
“Yang menarik dari acara tersebut adalah prosesi upacara yang begitu unik dari segi persembahan dan menampilkan tari-tarian sakral seperti Tari Rejang, Tari Abuang, serta masih banyak tari-tarian yang dipersembahkan oleh para pengayah yang menghaturkan sesolahan di Pura Luhur Bukit Gumang. Rangkaian acara Ngenteg Linggih berjalan dengan sangat lancar tanpa hambatan dari awal sampai akhir,” tutur Jero Nyoman Purwa Ngurah Arsana,.ST ketika diwawancarai via Whatsapp pada Minggu, 31 Oktober 2021.
Upacara Karya Agung Ngenteg Linggih di Pura Luhur Bukit Gumang ini menjadi suatu esensi dalam menjaga tradisi leluhur sekaligus sebagai momentum persatuan dari lima desa (Panca Desa) dalam bekerja sama mewujudkan keberhasilan sebuah upacara besar. Diharapkan kedepannya agar upacara ini tetap dilestarikan dan dilaksanakan 100 tahun mendatang oleh para penerus di masa depan sebagai bentuk eksistensi dari budaya dan kearifan lokal.
Penulis: Wulan Indira
Penyunting: Minati