I Nyoman Tinggal : Sesudah Erupsi, Tertimpa Pandemi

Matanya sembab kala mengingat proses pengungsian warga Desa Sebudi di tahun 2017. Erupsi Gunung Agung mengharuskan warga di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III segera hengkang. Sebagai pucuk pimpinan desa, I Nyoman Tinggal menjalankan misi pengungsian hingga pemulihan desanya. Sesudah erupsi, kini urusan pandemi Covid-19 datang menimpa.

Suara telepon tak henti-hetinya berdering kala itu. Lontaran pertanyaan, “pak perbekel bagaimana ini?” telah menjadi konsumsi sehari-hari bagi I Nyoman Tinggal, kepala Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem tatkala masa erupsi Gunung Agung di tahun 2017. Desa Sebudi yang masuk ke dalam KRB III harus segera mengungsi lantaran area ini dapat terkena awan panas, aliran lava, guguran baru, lontaran batu pijar, bahkan abu lebat. Saat pria yang karib disapa Tinggal tersebut berada dalam proses diskusi evakuasi, pengumuman pengungsian ternyata telah mendahului pengumuman resmi dari perangkat desa. Recana awal dengan pengungsian yang dikoordinasi oleh masing-masing kepala dusun pun buyar. “Sebenarnya sudah kita bagi (jalur evakuasi -red) dan kita kumpulkam setiap kepala dusun, nanti kepala dusun ini ke tempat ini pakai mobil ini, tapi saat evakuasi, tidak bisa terlaksana,” ungkap Tinggal kala dijumpai di kantor Desa Sebudi.

Dibalik maskernya, ia lanjut bercerita. Skema pengungsian disusun dengan membaWa warga desa ke Gor Sueca Pura, Klungkung. Di sisi lain, terdapat pula titik pengungsian lainnya, yakni beberapa bale banjar di desa-desa yang terletak di Klungkung. Awalnya, skema pengungsian tersebut diarahkan menuju Desa Rendang dan Nongan. “Tapi karena Rendang dan Nongan itu dianggap masih berbahaya, makanya kami lari ke selatan, ke bawah. Kebanyakan ya di Klungkung,” ucapnya.  Behari-hari tiadak suntuk Tinggal terus berkeliling Klungkung untuk mendata warga desanya. “Sekitar 20 hari kalau ada warga yang tidak dikunjungi baru mereka bertanya ‘pak perbekel gimana ini’. Baru bisa kita ke sana karena warga kami itu menyebar, 1 keluarga saja bisa nyebar dan syukurnya sudah ada HP,” lanjutnya.

Momen yang paling diingat oleh Tinggal ialah saat keluarga pengungsi yang harus terpisah. Sebabnya, mereka kelupaan salah satu anggota keluarga. “Dia punya anak 5, tapi sisa 2. Bahkan, punya anak 2 saja kemarin ada yang ditinggal di Nongan, ditinggal lari sama ibunya. Ibu dan bapaknya sudah naik ke mobil, tapi anaknya dilupakan,” ceritanya. Sesampainya pasutri tersebut di Denpasar, mereka baru menyadari ada yang tertinggal. “Anak saya mana?’ baru nangis di mobil, langsung balik lagi,” lanjut Tinggal menirukan percakapan. Untung, anak yang dalam pencarian tersebut berdiam diri di rumah dan berhasil ditemukan.

Semakin Tinggal mengingat, suaranya semakin tersendat-sendat. Ia menyeka air mata yang sedikit menetes dari pelupuk mata. Ia melihat keluarganya sendiri saat di pengungsian. “Ada juga keponakan yang masih 3 bulan. Sudah berbulan-bulan saya tidak ketemu. Di Gianyar dia sama bapaknya. Paman sudah tua, bibik juga sudah tua. Saya sayangin ponakannya,” tuturnya pelan. Segala kondisi yang dihadapi olehnya kala itu membuncah menjadi tangisan. Tinggal telah berencana, namun pengungsian berserakan berdasarkan masing-masing informasi yang didapatkan masyarakatnya secara mandiri. “Waktu itu, gimana ya penderitaannya. Satu titik kita itu sudah berbuat. Tapi ada saja kendala. Kadang-kadang kan ada yang punya teman, tinggal di rumah teman kan tidak tau dia, tidak dapat bantuan. Ada yang bilang ‘gimana ini perbekel kita tidak dapat bantuan’,” ujar Tinggal. Alhasil, distribusi bantuan menjadi persoalan bagi Tinggal. Enam bulan lamanya mengungsi, kejadian erupsi tersebut telah dilewati. Pada bulan Februari 2018, banyak pengungsi yang telah kembali ke masing-masing kampung halamannya. Pengalaman tersebut memberi pelajaran bagi Tinggal. Ia terus belajar tentang sigap bencana dengan menghadiri Jambore di Jawa Barat. “Karena kalau Gunung Agung meletus tahun 1963 diperkirakan akan Meletus 50-60 tahun lagi,” ucapnya. Tinggal mengaku, ia sangat siap ke depannya untuk mitigasi bencana.

Tidak berhanti sampai urusan erupsi, kini pandemi Covid-19 turut menghantam sendri kehidupan Desa Sebudi. Tinggal menunjukkan giat kerjanya sebagai perangkat desa. “Dari desa juga banyak menyediakan masker. Kemarin ada 1 kasus, bukan kita menghakimi tapi ada cluster dari daerah lain pas ngaben disana dia terkena, satu keluarga terkena. Itu dijaga selama 24jam oleh satgasnya,” ucapnya. Keluarga yang sedang menjalani isolasi mandiri pun mendapatkan pelayanan berupa penjagaan masa karantina dan pemenuhan kebutuhan pangan. Tinggal juga sigap dengan giat vaksinasi di Desa Sebudi yang mencapat sasaran terpenuhi hingga 88,8%. Tinggal kemudian membandingkan situasi ketika erupsi dan pandemi. Baginya, di tengah pandemi, daya adaptasi individu juga menjadi kunci, sebab persoalan menerpa segala lapisan masyarakat. “Kalau ngungsi, pakaian kurang sudah ada yang bantu. Sabun kurang, sudah ada yang bantu. Kita kan tidak ada minta ya, karena tuhan mengkehendaki seperti itu. Tapi syukur dibantu oleh orang-orang, orang-orang juga perhatian sama kita. Beda sekali, jauh bedanya,” tuturnya membandingkan.

Bencana memang tiada yang tahu kapan menerpa. Yang pasti, Tinggal telah mengambil pelajarannya. Ia mengaku, kesiagaan bencana perlu terus dipupuk dan dibina. “Agar masyarakat kami siap untuk menghadapi bencana.” Tegas Tinggal tidak ingin mengulang proses pengungsian di tahun 2017 yang semrawut. Ia lantas memanjatkan harapan, semoga Tuhan berkehendak mengembalikan kondisi lekas membaik.

Reporter: Ani, Trisna, Tryadhi

Penulis: Galuh

Penyunting: Gangga

You May Also Like