Mendengar kata ‘Thailand’, tentu sudah tidak asing lagi bagi pembaca, bukan? Thailand, Negara dengan julukan negeri Gajah Putih, terletak di sebelah Utara Indonesia, menjadi satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang tidak pernah mengalami penjajahan/kolonialisasi. Hal ini mengakibatkan Thailand memiliki banyak warisan, baik budaya, sumber daya, bahkan proyek pembangunan, yang ditinggalkan oleh Kerajaan Siam (sebelum menjadi Thailand), dari dulu dan tetap utuh hingga kini. Salah satu warisan Kerajaan Siam yang menjadi isu hangat saat ini adalah proyek pembangunan Kra Canal atau Terusan Kra. Nama Terusan Kra diperoleh dari Isthmus of Kra atau Tanah Genting Kra di Thailand, yaitu bagian tersempit dari Semenanjung Melayu. Proyek ini sudah direncanakan sejak pertengahan abad ke-17 dan digagas oleh insinyur Perancis, M. De La Mar, bertujuan untuk menemukan rute baru dalam menghubungkan perdagangan jalur laut Teluk Thailand dengan Laut Andaman. Sayangnya, proposal yang digagas nan apik tersebut gagal dilaksanakan, sebab Kerajaan Siam memutus hubungan mereka dengan Perancis.
Kemudian di tahun 1882, gagasan Terusan Kra kembali didengungkan oleh seorang insinyur Perancis yang masyur akibat keberhasilannya atas pembangunan proyek Terusan Suez di Mesir, yaitu Ferdinand De Lesseps. Namun ternyata, Raja Rama V yang memimpin Siam kala itu, lebih memandang tindakan Perancis sebagai sebuah ancaman dibanding suatu potensi untuk membangun persekutuan. Berlanjut di tahun 1897, Inggris membuat perjanjian rahasia dengan Kerajaan Siam agar tidak memunculkan kembali proposal Terusan Kra, dengan tujuan supaya dominasi Inggris di pelabuhan Singapura tetap dipertahankan1. Barulah di tahun 2005 isu untuk membangun Terusan Kra kembali meletup ke permukaan. Kini di tahun 2017, Tiongkok siap bekerjasama, baik dukungan dalam bentuk dana maupun pekerja, dan sangat mendesak pemerintah Thailand untuk segera memulai pembangunan proyek Terusan Kra.
Apabila kita lihat pada kondisi saat ini, Terusan Kra bertujuan untuk membentuk rute jalur laut baru yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Samudera Hindia. Pembangunan Terusan Kra diharapkan dapat mempermudah pengiriman barang, baik dari Eropa ke Asia Timur maupun sebaliknya. Rute jalur laut yang masih digunakan saat ini, yaitu dengan melalui Selat Malaka. Ini artinya dengan terbentuknya Kra Canal, akan semakin mengefisiensi ongkos waktu dan biaya perjalanan pengiriman barang, karena dapat memotong jalur Selat Malaka hingga menghemat jarak sekitar 1200 kilometer (km). Tentu isu Terusan Kra menjadi menarik sebab menimbulkan pro dan kontra di antara Negara tetangga Thailand, khususnya kawan-kawan di Association of South East Asian Nations (ASEAN).
Dengan dibentuknya Terusan Kra, secara umum akan meningkatkan perekonomian Negara-negara Asia Tenggara, khususnya bagi CLMV Countries, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, serta Vietnam. Berdasarkan sudut pandang geografi, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Vietnam memiliki garis pantai yang posisinya saling sejajar berurutan dari Barat ke Timur. Ketika Terusan Kra berhasil dibangun, memadatnya lalu lintas perdagangan laut di Thailand adalah suatu hal yang pasti. Sehingga, memberikan peluang bagi Myanmar, Kamboja, dan Vietnam untuk membangun pelabuhan lebih banyak di daerah pesisir mereka, dengan tujuan sebagai tempat bersinggahnya kapal-kapal kargo atau muatan sebelum memasuki daerah transit Terusan Kra. Selain itu, Negara landlocked atau tanpa laut seperti Laos, akan sangat diuntungkan dengan adanya Terusan Kra. Hal ini dikarenakan, Laos sangat bergantung pada Negara tetangganya untuk melancarkan perdagangan jalur lautnya. Dengan begitu, semakin Negara tetangganya memiliki akses laut untuk menjangkau Negara-negara dunia, tentu akan semakin menguntungkan kegiatan ekspor impor Laos.
Walaupun Negara-negara di ASEAN secara garis besar akan mengalami dampak keuntungan dari adanya Terusan Kra, tetapi tidak bagi tiga Negara, yaitu Singapura, Malaysia, serta Indonesia. Tiga Negara tersebut akan merasa dirugikan, sebab rute jalur laut Internasional yang umumnya melewati Selat Malaka, akan termatikan apabila Terusan Kra benar terealisasi. Berkurangnya kapal-kapal kargo yang singgah ke beberapa pelabuhan di Selat Malaka, tentu berdampak pada menurunnya pendapatan yang datang dari pajak transit maupun padatnya kegiatan perdagangan. Indonesia dan Malaysia sebenarnya tidak akan sangat dirugikan dengan masalah di atas, justru Singapuralah yang akan sangat dirugikan, karena Indonesia dan Malaysia masih memiliki sektor lainnya yang dapat menopang ekonomi. Meskipun Terusan Kra menyuguhkan dampak yang bervariasi, Negara-negara ASEAN hingga kini belum ada menunjukan pernyataan secara langsung, mengenai akankah berpihak dengan mega proyek Thailand tersebut atau tidak.
Fenomena dari proposal Terusan Kra Thailand dapat kita analisa melalui perspektif konstruktivisme, yang salah satu asumsinya menyatakan bahwa segala hal yang berbau dunia sosial bukanlah given, atau sederhananya tidak ada yang bersifat inheren dari lahir melainkan terkonstruksi oleh interaksi sosial manusia. Ini menandakan, istilah anarki yang sering dikatakan oleh kaum Realisme dan Liberal sebagai sesuatu yang given, menurut kaum Konstruktivis justru lebih kepada hasil konstruksi dari interaksi antarnegara di dunia. Sehingga, anarki dalam konstruktivisme terbagi menjadi tiga, yaitu enmity, friendship, dan rivalry. Enmity adalah kondisi anarki yang mengilustrasikan Negara-negara di dalamnya saling tidak mengakui eksistensi Negara lain, menyebabkan anarki tersebut penuh dengan permusuhan dan bersifat konfliktual. Kontras dengan enmity¸ anarki jenis friendship justru melihat Negara-negara di dalamnya dengan mengakui keberadaan Negara lain, sehingga anarki friendship diselimuti oleh saling kuatnya rasa hormat, bersifat kooperatif, dan perang merupakan suatu hal yang sangat mustahil terjadi. Terakhir adalah anarki rivalry, yakni Negara-negara di dalamnya saling mengakui kedaulatan Negara lain seperti friendship, namun tidak sekuat itu karena masih dapat terjadi konflik di dalamnya seperti enmity. Ini menandakan rivalry terilustrasi bagai anarki yang sarat akan interaksi di dalamnya. Kembali ke bahasan kita sebelumnya, menurut penulis ASEAN cenderung ke arah rivalry jenis anarkinya dalam hal proposal Terusan Kra. Sebab dengan segala prospek untung rugi yang ditawarkan Terusan Kra, Negara-negara di ASEAN tidak ada yang berusaha untuk memulai membangun kedekatan dengan Thailand seperti friendship, maupun tidak ada yang berusaha untuk melawan dan menghancurkan proyek itu seperti enmity.
Sejauh ini dapat penulis tarik kesimpulan, bahwa Terusan Kra atau Kra Canal merupakan mega proyek milik Thailand yang sudah dirumuskan sejak pertengahan abad ke-17, bertujuan untuk mempersingkat waktu tempuh perdagangan laut dari Eropa ke Asia Timur, maupun sebaliknya. Namun Terusan Kra selalu mengalami kegagalan di setiap proposalnya, barulah di tahun 2017 ini gagasan Terusan Kra menjadi hangat kembali setelah mendapat dukungan dari Tiongkok. Terusan Kra akan memberikan dampak untung rugi bagi Negara-negara di ASEAN. Meskipun begitu, sampai saat ini kondisi internasional di ASEAN masih stabil, belum ada yang menunjukan keberpihakan Negara ASEAN terhadap proyek Thailand tersebut ataupun tidak. Menjadikan fenomena Terusan Kra dapat mengilustrasikan bahwa ASEAN cenderung sedang mengalami kondisi anarki rivalry.(Wahyu Widnyana/FISIP Universitas Udayana )